11/21/2014 - 17:02
Jari Bung Karno menunjuk sebuah papan tulis hitam bertuliskan huruf vokal a, i, u, e, o. Ia mengenakan peci hitam dan kemeja putih berlengan panjang, matanya menatap ribuan orang di depannya. Beberapa puluh meter dari tempatnya berdiri, terdapat sebuah spanduk bertuliskan, “Bantulah usaha pemberantasan buta-huruf”.
Kata pertama spanduk itu adalah “Bantulah”, sebuah pesan bahwa Pemerintah tak sendiri, Pemerintah membuka tangannya untuk bekerjasama. Mengajak berkolaborasi. Hasilnya dahsyat!
Gerakan Pemberantasan Buta Huruf (PBH) yang dimulai pada Maret 1948 diselenggarakan di 18.663 tempat melibatkan lebih dari 17 ribu guru dan sekitar 700 ribu murid. Sampai tahun 1960 Bung Karno menegaskan, Indonesia harus terbebas dari buta huruf. Indonesia kemudian berubah dari yang tak terdidik menjadi terdidik.
Dalam proses itu semua ikut terlibat. Mahasiswa diundang untuk mengajar, rakyat menyediakan tempat, semua bergotong royong untuk memecahkan masalah pendidikan. Semua merasa memiliki masalah, tak tinggal diam, ikut terlibat menjadi bagian dari solusi.
Semangatnya adalah gerakan. Pendidikan kita lahir dari semangat gerakan. Bahkan Republik ini hadir atas iuran tenaga, uang, bahkan tak sedikit darah dari para pendirinya, semangat gerakan yang nyata-nyata hadir.
Pendekatan berbasis pada gerakan ini harus kembali kita usung. Pendidikan bukan semata program. Ia bukan program sektoral semata. Tak hanya urusan sektoral kementerian.
Secara konstitusional pendidikan memang tanggung jawab Pemerintah, tapi secara moral pendidikan adalah tanggung jawab setiap orang.
Semangat gerakan itu tak lekang dimakan waktu. Contoh nyatanya ada, mari kita tengok ensiklopedia dengan wikipedia. Dulu, peran Pemerintah seperti ensiklopedia. Definisikan masalah, panggil ahli, tunjuk orang terbaik, lalu dikerjakan. Kini, kita bisa lihat wikipedia. Yang dilakukan adalah buat wadahnya. Lalu siapa yang mengisinya? Siapa saja, dari mana saja, dan kapan saja bisa mengisinya.
Tentu bukan berarti negara tidak ikut campur, negara harus turut campur. Tapi negara jangan menyingkirkan pihak-pihak yang mau terlibat. Negara harus mengajak dan memfasilitasi.
Pendidikan harus didorong dengan pendekatan gerakan. Permasalahan guru misalnya, semua bisa ikut terlibat. Guru adalah perekayasa masa depan negeri ini, di kelasnya ada wajah-wajah masa depan Republik kita.
Melalui semangat gerakan kita bisa ajak para profesional untuk menghargai guru. Tanyakan pada para profesional tersebut, “Bisakah Anda duduk di posisi Anda saat ini tanpa bantuan guru?” Setiap karya kita pasti ada jejak nyata guru di dalamnya. Maka datangi guru kita, lihat sekolah kita dulu, bertamu ke rumah guru kita, cium tangannya dan ucapkan terimakasih. Lalu kita tanya apa yang bisa kita bantu untuk membayar balik jasa mereka? Beragam inisiatif akan muncul dari sana.
Ikhtiar mendorong pendidikan sebagai sebuah gerakan tentu bukan pekerjaan singkat. Ini adalah tugas kita bersama.
Bayangkan kembali Bung Karno yang mengajar di Gerakan Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Lalu kita eja spanduk di belakangnya, “Bantulah”. Langkah untuk membawa pendidikan sebagai gerakan senyatanya telah dimulai puluhan tahun lalu. Adalah tugas kita melanjutkan ikhtiar tersebut, ikhtiar untuk mengajak setiap orang terlibat dalam urusan pendidikan. (*)