Pendidikan Karakter

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bersalaman merupakan wujud rasa saling menghormati yang
menunjukkan sikap moral dalam perwujudan pendidikan karakter

pendidikanPendidikan Karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik diperuntukkan bagi generasi selanjutnya. [1] Tujuan pendidikan karakter adalah untuk membentuk penyempurnaan diri individu secara terus-menerus dan melatih kemampuan diri demi menuju kearah hidup yang lebih baik. [1]

Sejarah

Istilah karakter dalam konteks pendidikan baru muncul pada akhir abad ke 18. [1] Berikut ini adalah gambaran perkembangan pendidikan karakter dalam kehidupan manusia. [1]
Perang Melawan Lupa
Aktivitas pendidikan sejak awal telah dijadikan sebagai cara bertindak dari masyarakat.[1] Manusia mewariskan nilai yang menjadi bagian penting dari budaya masyarakatdimana tempat mereka hidup dan mewariskan nilai kepada generasi selanjutnya.[1] Pendidikan memiliki peran penting karena pendidikan tidak hanya menentukan keberlangsungan masyarakat namun juga menguatkan identitas individu dalam masyarakat [1] Dalam prosesnya berjuang melawan lupa dan berusaha membuat kenangan akan harta warisan kebudayaan merupakan awal kegiatan pendidikan.[1]

Pendidikan Karakter Ala Romawi

Pendidikan karakter ala Romawi lebih menekankan pada pentingnya aspek keluarga dalam hal pemberian nilai karakter.[1] Bentuk nyata dari pembentukan karakter itu dimulai dengan memberikan nilai moral seperti memberikan rasa hormat kepada tradisi leluhur kepada setiap generasi penerus.[1] Unsur dasar pendidikan karakter ala Romawi ialah memberikan nilai seperti mengutamakan kebaikan, kesetiaan, dan berperilaku sesuai dengan norma dalam masyarakat.[1]

Pendidikan Karakter di Indonesia

Pendidikan karakter bukan hal baru dalam tradisi pendidikan di Indonesia.[1] Beberapa pendidik Indonesia modern yang kita kenal seperti Soekarno telah mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa yang bertujuan menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berkarakter.[1]

Kelemahan Pendidikan Karakter di Indonesia

Persoalan pendidikan karakter di Indonesia sejauh ini menyangkut pendidikan moral dan dalam aplikasinya terlalu membentuk satu arah pembelajaran khusus sehingga melupakan mata pelajaran lainnya, dalam pembelajaran terlalu membentuk satu sudut kurikulum yang diringkas kedalam formula menu siap saji tanpa melihat hasil dari proses yang dijalani.[2] Guru/dosen pun cenderung mengarahkan prinsip moral umun secara satu arah, tanpa melibatkan partisipasi siswa untuk bertanya dan mengajukan pengalaman empiriknya.[2] Sejauh ini dalam proses pendidikan di Indonesia yang berorientasi pada Pembentukan karakter individu belum dapat dikatakan tercapai karena dalam prosesnyapendidikan di Indonesia terlalu mengedepankan penilian pencapaian individu dengan tolak ukur tertentu terutama logik-matematik sebagai ukuran utama yang menempatkan seseorang sebagai warga kelas satu. [2] Dalam prosesnya pendidikan karakter yang berorientasi pada moral dikesampingkan dan akibatnya banyak kegagalan nyata pada dimensi pembentukan karakter individu contohnya Indonesia terkenal di pentas dunia karena kisah yang buruk seperti korupsi dengan moralitas yang lembek.[2]

Pendidikan Karakter di Sekolah

Pendidikan karakter merupakan aspek yang penting bagi generasi penerus.[1] Seorang individu tidak cukup hanya diberi bekal pembelajaran dalam hal intelektual belaka tetapi juga harus diberi hal dalam segi moral dan spiritualnya, seharusnya pendidikan karakter harus diberi seiring dengan perkembangan intelektualnya yang dalam hal ini harus dimulai sejak dini khususnya dilembaga pendidikan.[3]</nowiki> Pendidikan karakter di sekolah dapat dimulai dengan memberikan contoh yang dapat dijadikan teladan bagi murid dengan diiringi pemberian pembelajaran seperti keagamaan dan kewarganegaraan sehingga dapat membentuk individu yang berjiwa sosial, berpikir kritis, memiliki dan mengembangkan cita-cita luhur, mencintai dan menghormati orang lain, serta adil dalam segala hal.[4]</nowiki>

Tujuan Pendidikan Karakter

Lahirnya pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk menghidupkan spiritual yang ideal.[1] Foerster seorang ilmuan pernah mengatakan bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah untuk membentuk karakter karena karakter merupakan suatu evaluasi seorang pribadi atau individu serta karakter pun dapat memberi kesatuan atas kekuatan dalam mengambil sikap di setiap situasi.[1] Pendidikan karakter pun dapat dijadikan sebagai strategi untuk mengatasi pengalaman yang selalu berubah sehingga mampu membentuk identitas yang kokoh dari setiap individu dalam hal ini dapat dilihat bahwa tujuan pendidikan karakter ialah untuk membentuk sikap yang dapat membawa kita kearah kemajuan tanpa harus bertentangan dengan norma yang berlaku.[1] Pendidikan karakter pun dijadikan sebagai wahana sosialisasi karakter yang patut dimiliki setiap individu agar menjadikan mereka sebagai individu yang bermanfaat seluas-luasnya bagi lingkungan sekitar.[5]
Pendidikan karakter bagi individu bertujuan agar :[5]

Mengetahui berbagai karakter baik manusia.
Dapat mengartikan dan menjelaskan berbagai karakter.
Menunjukkan contoh prilaku berkarakter dalam kehidupan sehari-hari.
Memahami sisi baik menjalankan prilaku berkarakter.

Presiden : Orang Tua Diharapkan Dampingi Anak untuk Rajin Belajar


Yogyakarta, Kemendikbud --- Peran orang tua menjadi yang utama dalam memberikan pendidikan dan pendampingan kepada anak, khususnya dalam mendampingi anak untuk bisa lebih rajin dalam belajar. Demikian disampaikan Presiden Republik Indonesia saat menyapa para penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) tahap dua, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Senin (04/05/2015).


“Orang tua juga dapat memberikan dorongan kepada anak untuk menggunakan waktu sebaik mungkin dalam belajar. Namun jangan dipaksakan,” tutur Presiden.

Pada kesempatan ini, setelah selesai membagikan KIP secara simbolis kepada 10 siswa, Presiden mengajak tiga orang siswa yaitu Dian, Rahmat, dan Sudaryono untuk berdialog. Dian seorang siswi kelas enam dari salah satu Sekolah Dasar Negeri di Desa Taman Martani. Ia menyampaikan kegiatan rutin belajar di rumah mulai dari pukul 19.00 WIB s.d. 20.00 WIB.

Sama halnya juga dengan Rahmat seorang siswa kelas delapan dari SMP Negeri 4 Kalasan, melakukan kegiatan belajar di rumah mulai dari pukul 19.00 WIB s.d. 20.00 WIB. Berbeda dengan Dian, salah satu siswa kelas tujuh Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah Kalasan, Rahmat menyampaikan kepada Presiden mengenai kegiatan belajar rutin di rumah. Ia selalu belajar di rumah dilakukan mulai dari pukul 19.00 WIB s.d. 21.00 WIB.

Menanggapi penyampaian dari para siswa dan siswi tersebut, Presiden merasa senang karena para siswa tersebut memiliki karakter baik dengan kemauan untuk jujur mengatakan kebenaran. Presiden berpesan kepada para siswa untuk tingkatkan lagi semangat belajar. ”Jika ingin seperti Bapak Anies Baswedan, belajarlah yang giat. Tambah lagi waktu untuk belajarnya,” pesan Presiden.

Presiden berharap, dengan adanya KIP, siswa dapat lebih produktif lagi. Orang tua dapat membantu anak-anaknya untuk memanfaatkan kartu ini sesuai peruntukannya, dan tidak boleh disalahgunakan. “Mari para orang tua untuk bersama-sama meningkatkan semangat belajar para anak-anak. Negara memberikan fasilitas KIP, maka gunakan dan manfaatkan kartu ini. Jadilah anak pintar,” pungkas Presiden. (Seno Hartono/Sumber:kemdikbud.go.id/Pengunggah: Erika Hutapea)

Belajar Sambil Berdiri Bisa Tingkatkan Konsentrasi Belajar Anak

Jakarta, Kebanyakan duduk sudah terbukti bisa menimbulkan berbagai risiko kesehatan, misalnya saja obesitas dan risiko diabetes tipe 2. Pada anak-anak, kegiatan belajar yang mereka lakukan dalam posisi berdiri ternyata berpengaruh pada prestasi mereka.
Peneliti di Texas A&M Health Science Center School of Public Health menemukan bahwa belajar dalam posisi berdiri bisa membantu anak lebih berkonsentrasi dan terlibat dalam kegiatan belajar di kelas. Untuk studi ini, peneliti melibatkan 300 anak yang duduk di bangku kelas 4 SD.
Selama beberapa jam, sekelompok siswa diminta memperhatikan pelajaran dalam posisi berdiri, sementara siswa yang lain dalam posisi duduk. Hasilnya, ditemukan bahwa perhatian anak yang berdiri lebih fokus dan terpusat pada pelajaran, dibandingkan dengan anak yang duduk.
Berdiri juga membuat anak 12% lebih aktif di kelas, ketimbang anak yang duduk memiliki tingkat keterlibatan di kelas sebanyak 7%. Beberapa indikator keterlibatan anak di kelas yakni seringnya mereka menjawab pertanyaan, mengangkat tangan untuk mengungkapkan pendapat, serta ikut aktif dalam diskusi kelompok.

"Kondisi belajar dalam posisi berdiri bisa mengurangi perilaku yang bisa mengganggu proses belajar dan menambah perhatian siswa atau perilaku akademisnya," tutur salah satu peneliti, Mark Benden, PhD, CPE dalam laporannya di Journal of Health Promotion and Education dan dikutip pada Minggu (26/4/2015).

Hal ini, lanjut Benden, bisa terjadi karena siswa mendapat metode berbeda untuk menyelesaikan tugas sekolahnya yakni berdiri, yang bisa mengganti kebiasaan mengerjakan tugas sekolah selama ini, yaitu duduk. Mengingat perilaku akademik berkontribusi besar pada prestasi siswa, Benden menekankan tak ada salahnya jika sekolah atau bahkan orang tua di rumah menerapkan kebiasaan belajar sambil berdiri.

"Tentunya tidak harus dilakukan terus-terusan karena jika anak merasa lelah, bolehkan ia beristirahat, salah satunya dengan kembali duduk," tutur Benden. (Radian Nyi Sukmasari - detikHealth)