Stop Total Kurikulum 2013


Babak baru masalah Kurikulum 2013 lebih tegas, Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta agar pemerintah menghentikan penerapan kurikulum 2013 secara total karena menilai Kurikulum 2013 adalah upaya resentralisasi dan tidak mencerminkan semangat penegakan otonomi daerah. Kurikulum tersebut menyamaratakan pendidikan sesuai standar baku pemerintah pusat padahal tiap daerah tak memiliki kemampuan yang sama untuk menerima kurikulum tersebut. Koordinator divisimonitoring pelayanan publik ICW, Febri Hendri,  seharusnya pemerintah pusat memberi kesempatan agar tiap daerah bisa mengembangkan pendidikan sesuai kebutuhan masing-masing. Ia mengaku sudah bicara dengan Anies Baswedan agar tidak buang-buang waktu membuat kurikulum baru. Menurutnya, pemerintah cukup menyempurnakan Kurikulum 2006 dan menyelaraskannya dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional.

Argumentasi ICW ini sangat sejalan dengan pemikiran kami yang dipublikasikan terdahulu. Seperti sudah dijelaskan bahwa indikator merupakan penanda pencapaian KD  (Kompetensi dasar) yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik, mata pelajaran, satuan pendidikan, potensi daerah dan dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi. Selanjutnya dalam mengembangkan indikator perlu mempertimbangkan: (1) tuntutan kompetensi yang dapat dilihat melalui kata kerja yang digunakan dalam KD; (2) karakteristik mata pelajaran, peserta didik, dan sekolah; dan (3) potensi dan kebutuhan peserta didik, masyarakat, dan lingkungan/ daerah.

Ketika kita Ingin mengembangkan kreatifitas tertentu pada diri siswa, kita tinggal menyusun indikator sesuai keterampilan dan sikap yang ingin dikembangkan. Sebagai contoh “membuat film pendek tentang lingkungan” sebagai indikator psikomotor,  atau mungkin pada kondisi lain dengan rumusan yang sesuai kondisi riilnya.
Pada daerah dimana banyak warteg dan warung nasi lain, terkait dengan limbah, pada KTSP kita dapat merumuskan Indikator kreatif  ”dapat mengolah limbah nasi menjadi krupuk aneka rasa” dll. Di daerah industri tahu tempe dapat disusun “dapat mengolah limbah cucian kedelai menjadi nata de soya. Di daerah sentra penjual  gorengan  dapat dirumuskan indikator “mengolah jelantah menjadi sabun dan bioplastik” benar benar  kreatifitas terbuka luas.

Berbeda dengan K13 Yang tiap pelajaran sdh ditentukan berbagai aspeknya, pada KTSP berbagai mata pelajaran dapat merumuskan Indikator sejenis dalam sebuah fenomena masyarakat. Sebagai contoh panen padi, guru biologi bisa merumuskan “mendiskripsikan faktor nutrisi”, “interaksi sosial panen padi” utk sosiologi, “hukum penawaran” utk ekonomi dll. Pembelajaran dapat  dilakukan bersama, dampaknya lebih luas. Dalam artian Collaboration Learning tidak hanya pada belajar bersama diantara peserta didik namun dapat meluas pada kolaborasi antar guru, dengan bekerjasama dalam perumusan Indikator tertentu di satuan Tingkat pendidikan (sekolah).

Sebagai sekolah yang telah menerapkan K13 selama 3 semester, kami menilai baha guru lebih Gampang ngajar dengan K13, Jika semua yang dibutuhkan ada, guru bisa sekadar jadi FASILITATOR ATAU BAHKAN SEKEDAR OPERATOR MULTIMEDIA Tetapi jelas akan menjadi kesulitan yang luar biasa bagi Saudara kita, guru guru yang berada di daerah dengan berbagai keterbatasannya. Sebagai contoh, ketika PLN mati maupun Koneksi Internet lemod, sungguh pembelajaran K13 menjadi sangat terganggu.

Bayangkan jika arus listrik tidak ada setiap hari, berada didaerah Blanks spot, maupun daerah terpencil lain ditambah berbagai keterbatasan yang  ada. KIta bersyukur mempunyai Mendikbud yang dengan cekatan dan tanggap mau blusukan ke seluruh negeri beserta team evaluasi tentunya, umtuk mendengar, berdialog, dan  dengan emhati beliau dengan cepat memahami kondisi riil yang terjadi.

Kita jadi mendapat informasi riil tentang kesulitan pelaksanaan K13 di sekolah-sekolah, sebagai contoh ketika mendikbud mendatangi di satu SMA negeri Di Kota depok yang dekat dengan Jakarta saja, penerapan K13 mengami kesulitan, bagaimana dengan sekolah di daerah lebih jauh dari pusat kota, di gunung, di daerah blank spot, dan seterusnya dan seterusnya ?

Sebenarnya, dengan berempati kita dapat dengan mudah memahami PENGHENTIAN K13.  Dengan demikian komentar komentar spt “Yang Menolak K13 Hanya guru yang malas”, “guru tidak kreatif”, “guru tua yang tidak bisa komputer” dan sejenisme mengindikasikan komentatornya adalah Guru Yang Tidak Punya Emphatik. Jika demikian adanya, bagaimana Siswa bisa tumbuh karakter unggulnya jika dididik guru guru yang tidak punya Emphati ? Apalah artinya keunggulan teknologi jika muncul generasi tanpa hati ?

sumber : compassiana,com